1. Penamaan
Nama Subang diambil dari kota kabupaten Subang, dimana sekitar 2 km dari batas selatan kota ditemukan singkapan lempung abu-abu, kehitaman, yang merupakan salah satu singkapan dari Formasi Subang. Penamaan Subang pertama-tama diberikan oleh Sudjatmiko (1972). Beberapa penulis sebelumnya telah memberi nama yang berlainan terhadap satuan ini. Frei (1931) menamakannya sebagai “Cisubuh Serie”, Kehrer (1932) menamakannya sebagai “Onder Tomo”, untuk lempung bawah, “Tjilangkap Serie” untuk lanau di tengah, dan “Boven Tomo Serie” untuk lempung bagian atas. Ludwig menamakan sebagai “Cidadap Lagen” sedangkan van Bemmelen (1949) menyebutnya sebagai Formasi Cisubuh. Nama Subang dipilih dalam penelitian ini mengingat nama tersebut sudah cukup dikenal dalam pustaka.

2. Penyebaran dan Ketebalan
Penyebaran Formasi Subang cukup luas, dan umumnya menempati tepi selatan dari morfologi dataran pantai di utara Jawa Barat. Penyebaran dari mulai Cibinong sampai ke daerah Tomo, Kadipaten. Ketebalan dari satuan ini sulit dihitung dengan tepat mengingat buruknya perlapisan, di samping di beberapa tempat telah mengalami
pengaruh Sesar Baribis. Ketebalan terukur di daerah Krawang Selatan adalah 516 m, sedangkan di Purwakarta
diperoleh ketebalan sekitar 750 m (Assa, 1980), dan di daerah Subang adalah sekitar 800 m, lebih ke timur ketebalan satuan ini kelihatannya menebal (Tjia, 1963; di Tomo sekitar 2900 m).

3. Lokasitipe dan Stratotipe
Lokasitipe dari Formasi Subang adalah kota kabupaten Subang. Stratotipe Formasi Subang sulit untuk ditentukan, mengingat ciri litologinya agak berbeda dari barat ke timur. Di daerah Krawang Selatan, Formasi Subang bagian bawah mempunyai urutan lempung berlapis, makin ke atas berubah menjadi pejal, tak berlapis, di bagian tengah dan atas berubah menjadi pasiran kadang-kadang konglomeratan, dan akhirnya berubah menjadi lempung coklat, sebelum ditutupi Formasi Kaliwangu yang kaya akan mollusca dan sisipan lignit. Di daerah Tomo, Formasi Subang hanya terdiri dari lempung, berlapis baik di bagian bawah, dan tidak berlapis dan kaya akan konkresi pada bagian atas. Oleh karena itu sulit untuk memilih stratotipe.

4. Ciri Litologi
Bagian terbawah Formasi Subang umumnya berupa napal abu-abu sering berlapis baik, kadang-kadang menyerpih. Ke arah atas serpih berubah menjadi lempung, napal dengan sisipan pasir tipis. Bagian tengah Formasi Subang
dicirikan oleh lempung masif tidak berlapis, konkoidal dan kaya akan konkresi, dari ukuran beberapa cm sampai lebih dari 1 m.
ANGGOTA CICAUH
Satuan ini khas untuk endapan Formasi Subang di daerah Krawang Selatan. Lokasi tipenya pada Antiklin Cicauh di antara Bekasi – Cibarusa, Krawang. Satuan ini mempunyai ketebalan sekitar 106 m sebagaimana terukur di daerah
Krawang Selatan (Nasir dan Tjahyo Hadi, 1981). Anggota Cicauh terdiri dari batupasir glauconitan kadang-kadang
konglomeratan. Pasirnya terdiri dari kwarsa, karbonan Kadang-kadang cukup tebal (4 m di Cibenda). Batupasir ini
bersisipan batulempung pasiran, abu-abu, rapuh. Formasi Subang bagian atas, kembali didominer oleh lempung, abu-abu, kehijauan, lunak sampai getas, pada bagian atas terdapat sisipan batupasir. Batupasir ini bersifat tufaan, abu-abu, berbutir halus, mengandung glauconit kadang-kadang membentuk struktur silang siur kecil. Di daerah Tomo dan Subang, Formasi Subang kebanyakan didominer oleh lempung hitam abu-abu, masif, konkoidal, yang kaya akan konkresi-konkresi. Perlapisan disini umumnya sangat buruk. Perlapisan hanya dapat dikenal dari sisipan pasir tipis, membentuk struktur flaser, serta kelurusan dari konkresi-konkresi kecil.

5. Ciri Batas
Formasi Subang dapat dibedakan dengan mudah dari Formasi Parigi yang berada di bawahnya. Perubahan umumnya agak berangsur dari gamping Formasi Parigi, berubah menjadi gamping napalan dan akhirnya menjadi napal menyerpih dari Formasi Subang. Ciri batas atas kadang-kadang sulit ditentukan. Formasi Kaliwangu umumnya terdiri dari pasir dan lempung, sehingga pada beberapa tempat kalau dasar Kaliwangu lempungan dan
puncak Formasi Subang bersifat pasiran ciri batas agak sulit ditentukan, seperti yang terlihat di S. Cikandung, Sumedang. Tetapi adanya lempung yang tidak bereaksi dengan HCL, serta munculnya sisipan batubara dapat dipakai sebagai tanda mulainya Formasi Kaliwangu.

6. Kandungan Fosil dan Umur
Fosil penunjuk dari Formasi Subang, kebanyakan berupa foram plankton yang tidak terdapat secara umum, tetapi membentuk “pocket” tersendiri. Di antara fosil penunjuk tersebut adalah:

Globorotalia tumida
Globorotalia lenguaensis
Globorotalia pleisiotumida

Kumpulan di atas menunjukkan umur N17 atau Miosen Akhir.
Di samping itu juga banyak ditemukan fosil foraminifera bentos. Pada bagian bawah banyak ditemukan fosil:

Nodosaria sp
Bolivina sp
Robulus sp

Sedangkan bagian atas banyak ditemukan Rotalia (Streblus) becarii yang menunjukkan lingkungan pengendapan air payau. Beberapa contoh di S. Awitemen dan di Cigarogay, Purwakarta menunjukkan umur sekitar Miosen Akhir (N17).

7. Lingkungan Pengendapan
Dari urutan ciri batuan, serta ciri struktur sedimen dari bawah berupa lempung berlapis, diikuti lempung masif penuh acakan binatang, ke atas berkembang menjadi pasir bersilang siur (Anggota Cicauh), memberikan gambaran lingkungan pola regresi. Lingkungan pengendapan dari Formasi Subang diperkirakan berupa dua urutan dataran
pasang surut (tidal flat). Urutan pertama adalah perkembangan dari lempung ke pasir Anggota Cicauh, mengingatkan pola regresi dari urutan lempung lepas pantai (offshore) yang berlapis, berubah ke daerah dataran lempung diikuti oleh daerah pasir. Urutan dataran pasang surut ini kemudian berulang, hanya dalam skala yang lebih kecil yakni dari urutan lempung ke pasir, atau lempung pasir yang kaya akan struktur “flaser” dari Formasi Subang bagian atas. Urutan dataran pasang-surut ini juga terlihat di daerah sebelah timur, Sumedang Utara
(Conggeang). Di daerah ini urutan kedua yang berada di atas tidak berkembang, demikian pula urutan pasir dengan struktur flaser tidak jelas. Mungkin ciri terakhir ini dimasukkan ke dalam Formasi Kaliwangu. Pada daerah ini Formasi Kaliwangu berkembang baik.

 

Referensi:

Martodjojo, S., 2003, Evolusi Cekungan Bogor Jawa Barat, Penerbit ITB hal 99-101.