Formasi Batuasih
Penamaan
Nama Batuasih diambil dari nama desa sekitar 3 km selatan dari Cibadak, Sukabumi, letaknya tepat di lembah antara G. Walat dan antiklin Pasir Bongkok. Nama Batuasih dipakai untuk penamaan satuan di daerah ini, pertama-tama oleh Baumann (1972) dengan nama Batuasih Marl Formation, dan kedua secara lebih resmi diberikan oleh
Effendi (1974) sebagai Formasi Batuasih. Nama Formasi Batuasih tetap dipertahankan dalam tulisan ini mengingat ciri dari batuan ini dalam ruang dan waktu adalah jelas dan tersendiri.

Penyebaran dan Ketebalan
Penyebaran Formasi Batuasih agak terbatas. Secara litologi formasi ini menyerupai Formasi Cijengkol di Banten Selatan, tetapi di Banten jauh lebih tebal, serta bersifat lebih marin, kaya akan foram plangton. Kearah timur beberapa singkapan napal hitam di daerah Rajamandala, Cipanas (Saguling) juga sangat menyerupai Formasi Batuasih. Ketiga singkapan tersebut, Formasi Cijengkol, Formasi Batuasih (termasuk singkapan di Rajamandala),
mempunyai kedudukan stratigrafi yang sama. Ketebalan Formasi Batuasih di daerah lokasitipenya adalah 111 m. Di Saguling ketebalan minimum adalah 400 m, sedangkan Formasi Cijengkol di Banten Selatan adalah 570 m.
Nama terakhir masih perlu dipertahankan.

Ungkapan Morfologi
Formasi Batuasih yang berbatasan dengan Formasi Bayah dan Formasi Rajamandala menunjukkan morfologi yang terendah. Hal ini disebabkan karena kedua satuan yang membatasi mempunyai ketahanan erosi yang lebih besar,
sehingga morfologi Formasi Batuasih selalu merupakan lembah diantara kedua perbukitan tersebut.
Lokasitipe dari Stratotipe
Stratotipe Formasi Batuasih berada pada lokasitipenya, yakni desa Batuasih (Gambar 1). Singkapan terbaik adalah sepanjang sungai kecil dekat pembakaran gamping paling utara. Sebagai lokasitipe dari Formasi Batuasih dipilih desa Batuasih, yang terletak diantara G. Walat dan Pasir Bongkok di jalan Cibadak – Pelabuhan Ratu. Koordinat dari lokasitipe ini adalah 106° 46’ B.T. dan 6° 50’ L.S.

untitled

Ciri Litologi
Formasi Batuasih yang menutupi Formasi Bayah di G. Walat kebanyakan terdiri dari lempung yang keras, padat sering napalan. Beberapa sisipan tipis lanau pasiran juga ditemukan dan kadang-kadang juga dijumpai pasir. Lanau
pasiran ini umumnya terdiri dari kwarsa dan rijang, tidak mengandung fragmen volkanik. Pirit umum dijumpai. Salah satu singkapan yang baik di S. Cibatu. Bagian atas, terutama lebih bersifat napalan banyak mengandung fosil foraminifera dan gastropoda disamping fragmen echinoid dan bryozoa. Warna umumnya abu-abu kehitaman,
getas dan menyerpih.

Ciri Batas
Ciri batas bawah dari Formasi Batuasih dengan Formasi Bayah di G. Walat, ditandai oleh berkurangnya atau hilangnya pasir dan konglomerat pada Formasi Bayah. Lempung pada Formasi Batuasih bagian bawah sulit dibedakan dengan beberapa sisipan lempung yang tebal pada Formasi Bayah di daerah G. Walat. Batas di daerah tipe tidak jelas, karena terusakkan oleh sesar. Batas atas di daerah tepinya terlihat jelas di sungai kecil dekat perkapuran paling utara. Pada air terjun bagian atasnya terdiri dari gamping, sedangkan bagian bawahnya secara
berangsur berubah menjadi lempung, napal hitam dari Formasi Batuasih. Ciri batas lateral tidak diketahui karena
penyebaran yang sangat terbatas. Di bagian sebelah timur dari G. Walat, di selatan Sukabumi, batugamping dari Formasi Rajamandala langsung berada diatas Formasi Bayah yang terdiri dari pasir kwarsa. Dari gejala tersebut Baumann (1972) menganggap bahwa Formasi Batuasih merupakan fasies lautan dari Formasi Bayah Atas. Oleh karena itu Baumann (1972) menganggap kedudukan antara Formasi Rajamandala dan Formasi Batuasih adalah tidak selaras, walaupun antara keduanya tidak terdapat selang waktu sedimentasi yang berarti. Formasi Batuasih
berumur Oligosen Atas, dan Formasi Rajamandala ditutupi oleh Formasi Citarum yang berumur Oligosen Akhir (terakhir). Kedua formasi, Formasi Batuasih dan Formasi Rajamandala menurut penelitian ini adalah merupakan perubahan fasies, dan samasama tidak selaras diatas Formasi Bayah. Formasi Batuasih dan Formasi Rajamandala merupakan endapan daerah transisi dan laut dangkal, sehingga perubahan fasies antara kedua satuan tersebut dapat terjadi setempat-setempat. Seringnya dijumpai sisipan batupasir kwarsa pada bagian bawah Formasi Rajamandala menguatkan kesimpulan tersebut.


Kandungan Fosil dan Umur
Pada bagian terbawah dari Formasi Batuasih ini tidak ditemukan fosil laut dangkal. Gastropoda dan pelecypoda, diantaranya yang dapat dikenal adalah : Conus sp dan Terebra, pelecypoda umumnya sudah sangat rusak. Fosil
lain yang ditemukan adalah duri echinoid, yang umumnya menunjukkan lingkungan laut dangkal dan berpasir. Adanya fosil ini dapat menunjukkan thanatoconoese dari beberapa fosil pada napal di Batuasih ini. Fosil foraminifera juga ditemukan pada bagian tengah dan atas dari Formasi Batuasih ini. Baumann (1972) menemukan :
Globigerina praebulloides
G. angulisuturalis
G. ciporuensis
yang menunjukkan umur N2 – N4 atau Oligosen Akhir. Adinegoro dan Arpandi (1976) menyebutkan adanya beberapa foram besar :
Nummulites sp
Heterostegina borneensis
Lepidocyclina sp
Dalam penelitian terakhir, telah diteliti contoh batuan dari Formasi Batuasih, tetapi hanya bagian atas yang mengandung foram plangton. Walaupun tidak banyak jumlahnya, tetapi semua species yang ditemukan oleh Baumann (1972) juga terdapat pada contoh yang diperiksa, disamping itu juga ditemukan beberapa contoh dari Globigerina tripartita.

Kedudukan Stratigrafi
Formasi Batuasih merupakan lingkungan transisi dari dominan lingkungan darat (pasir konglomerat dari Formasi Bayah di G. Walat) ke lingkungan lautan (gamping dari Formasi Rajamandala). Kedudukan stratigrafi dari Formasi Batuasih dan Formasi Bayah dibawah mungkin tidak selaras, sedangkan batas atasnya dengan Formasi Rajamandala adalah selaras.

Lingkungan Pengendapan
Warna Formasi Batuasih umumnya hitam, abu-abu, sering mengandung mineral pirit. Fosil di bagian bawah umumnya jarang. Kearah atas fosil makin mengarah ke fosil laut. Di bagian tengah banyak mengandung pelecypoda
dan gastropoda, sedangkan pada bagian atas sering dijumpai napal yang mengandung foraminifera. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan Formasi Batuasih adalah laut transisi dengan kondisi reduksi pada bagian bawahnya.
Didalam catatan Formasi Ciletuh dan Formasi Bayah telah disebutkan bahwa Formasi Bayah merupakan pendangkalan dari sistem prisma akresi di depan busur vulkanik. Formasi Batuasih terletak tidak selaras diatas
Formasi Bayah yang mengandung sisipan batubara. Dari sini kita dapat simpulkan bahwa, proses transgresi telah menerus di selatan, menutupi suatu lembah yang dulunya merupakan punggungan busur luar yang berlingkungan
darat. Oleh karena itu kita dapat simpulkan bahwa Cekungan Bogor mulai terlihat pada umur Akhir Oligosen ini.

 

Referensi:

Martodjojo, S. (2003): Evolusi Cekungan Bogor Jawa Barat, Penerbit ITB, Bandung.